ISLAM, WANITA DAN KESETARAAN JENDER
Oleh : Almuttaqin
Sejak dahulu, mulai dari zaman pra kerajaan hingga republik sekarang, perempuan selalu menjadi warga kelas dua, menjadi sub ordinasi dari kaum yang bernama laki-laki. Perempuan dianggap mempunyai peran yang sangat sedikit atau bahkan tidak mempunyai peran sama sekali dalam tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat. Itulah sebabnya dunia yang kita huni ini sering disebut dunia patriarki, laki-laki lebih berkuasa daripada wanita.
Pada awal peradaban manusia, laki-laki sengaja memarjinalkan posisi wanita. Karena mereka dianggap sosok manusia yang lemah, tidak memiliki spirit untuk berusaha dan berkembang. Dan hal itu menjadi preseden buruk yang sampai saat ini masih kita rasakan imbasnya. Tidak hanya laki-laki saja yang menganggap demikian, celakanya perempuanpun terdoktrin oleh budaya itu sebagai sebuah dogma yang turun-temurun yang seakan-akan wajib dianut. Orang tua mengajarkan sikap nrimo atas semua perlakuan laki-laki sebagai seorang kepala keluarga.
Jika kita mengingat kembali sejarah abad ke-4 masehi sebelum datangnya Islam. Atau sering disebut zaman Jahiliyah. Perempuan mempunyai kedudukan seakan hamba sahaya, tidak memiliki suatu hak yang yang diakui secara sah. Ia tidak mempunyai hak milik, tidak mempunyai hak untuk melaksanakan suatu usaha. Tidak mempunyai untuk memiliki tempat hidup. Bahkan mereka dianggap sebagai benda yang dimiliki tetapi tidak memiliki. Mereka menjadi warisan, tetapi tidak mewarisi. Dan mereka dapat dipaksa untuk bersuamikan pria yang mereka benci. Bahkan dijadikan sebagai alat untuk perjudian.
Inilah dunia dalam sisi gelap yang selalu memarjinalkan keberadaan perempuan. Padahal mereka adalah manusia, sama seperti laki-laki yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia yang memegang ujung tombak peradaban dunia.
Reformasi Wanita
12 Rabiul Awwal tahun 571 Masehi adalah hari besar bagi seluruh alam. Langit tersenyum, bumi bertasbih, angin terdiam dan pepohonan sujud seraya mengucap syukur. Seorang Rasul telah diutus ke muka bumi sebagai pelita dalam kegelapan, penepis segala penindasan dan mengangkat kembali harkat martabat kaum wanita ke tingkat yang sebenarnya.
Muhammad bin Abdulah dari qabilah Qurays. Dialah sang pelopor gerakan reformasi perempuan pertama di dunia. Bersama Islam diangkatlah kedudukan wanita dan dikembalikan ke tingkat yang layak sebagai makhluk Allah yang diciptakan untuk mendampingi kaum pria dalam misinya sebagai khalifah di muka bumi. Mereka dibebaskan dari penindasan, perlakukan sewenang-wenang dan diberikan hak yang sama dengan laki-laki sebagai partner hidup yang patut dihargai dan dihormati.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya Khodijah Binti Khuailid dalam kehidupan Muhammad SAW sebagai sosok perempuan yang mendukung program reformasi yang menandakan dimulainya gerakan emansipasi wanita. Yaitu kebebasan untuk maju dan berkembang. Dia adalah pembisnis perempuan terkaya pada masa itu. Perniagaannya luas hingga menyerbu pasar-pasar di Syria dan pusat perbelanjaan di Habashah, Yaman. Dia dikenal aktif di muka publik. Sebagai isteri seorang Nabi dia hidup proporsional. Seluruh kekayaannya diinfakkan untuk perjuangan suaminya Muhammad demi tegaknya kalimat tauhid dan pembebasan atas kaum yang tertindas yang akan tumbuh subur dari ujung Timur hingga tempat terbenamnya matahari di ufuk Barat.
Seorang ahli ilmu terkagum-kagum dengan sosok Khadijah, ”Saya cukup terhenyak ketika tersadar bahwa terdapat perbincangan lain yang tak kalah penting yaitu munculnya sosok, figur, dan tokoh perempuan Islam pertama di muka bumi ini yang memeriahkan konstelasi pengetahuan mengenai arti perjuangan seorang perempuan menghadapi kuatnya kultur patriarki”.
Begitu juga Sayyidah Aisyah istri Muhammad SAW yang semasa hidupnya berjuang untuk kepentingan dakwah Islam sesuai tuntutan zaman pada masa itu. Pilar-pilar kemanusiaan tercermin dari sorot matanya. Gema-gema jihad membekas dalam sikap dan kata-kata bijaknya dimata publik. Sementara kasih sayangnya tergambar dalam goresan hadits-hadits suci yang yang autentik hingga saat ini menjadi bahan rujukan untuk menentukan sebuah hukum yang adil dan benar.
Sangat tidak adil jika selama ini Islam menjadi kambing hitam dan pengabsahan bagi pengekangan terhadap perempuan, karena yang menjadi persoalan sampai sejauh ini bukan terletak Islam sebagai agama, tetapi lebih-lebih pada internalisasi paham keislaman bias jender. Sejarah telah mebuktikan bahwa banyak diantara sahabat bahkan isteri-isteri Rasulullah sendiri yang beraktifitas di luar publik. Mereka tidak dilarang, mereka tidak dicegah, bahkan perjuangan-perjuangan mereka telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan Islam di dunia.
Potret sejarah manusia, kita kenal dengan Fatimah Az-Zahra, Ratu Bilqis, Cleo Patra dan Indira Gandhi. Di Indonesia kita kenal dengan Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, dan lainnya. Mereka adalah komunitas perempuan yang mampu membangun sebuah komitmen besar dalam sejarah dunia, yaitu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan menumpas segala bentuk tindak kejahatan. Bahkan dalam sejarah politik moderen, Indonesia pernah memiliki presiden perempuan Megawati Soekarno Putri. Kemunculannya sebagi pemimpin tertinggi negeri kita ini - meskipun mendapat kritik dari para pemuka agama – memberikan angin segar bagi perjuangan pergerakan wanita di Indonesia.
Konsep Islam Menyamakan Kedudukan Pria dan Wanita
Allah SWT berfirman;
”Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagian perempuan (pun) ada bagian yang mereka usahakan.”. (QS. An-Nisa : 32)
Sungguh nyata apa yang Allah firmankan dalam ayat ini. Hak milik laki-laki sama dengan apa yang telah Allah berikan kepada perempuan. Semuanya sudah diatur dan sisamaratakan sesuai kadarnya. Laki-laki mendapatkan hak untuk memiliki sesuatu, maka perempuan juga mempunyai hak untuk memiliki. Jika laki-laki mendapatkan hak atas warisan, maka perempuanpun mendapatkan hak atasnya. Begitu juga dalam jual beli, membuat perjanjian, dan menentukan pilihan hati untuk mencari pendamping hidup. Mereka tidak bisa dipaksakan walaupun oleh orang tuanya sendiri.
Dalam ayat lain Allah berfirman;
”Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan ia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau membenamkan ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”. (QS. An-Nahl: 58-59)
Dalam ayat ini secara tegas Allah memberikan sebuah penilaian ”Ingatlah alangkah bururknya (putusan) yang mereka tetapkan itu”. Secara tidak langsung Allah menegaskan bahwa derajat perempuan itu sama dengan laki-laki. Memiliki hak untuk dihargai dan dihormati. Mempunyai hak untuk hidup bebas tanpa diskriminasi. Dan Islam mewajibkan seluruh pemeluknya baik laki maupun wanita untuk menuntut ilmu setinggi tingginya.
Sayangnya tidak semua laki-laki menyadari konsep ini. Laki-laki kadang-kadang seenaknya mendiskriminasi perempuan tanpa ada belas kasihan sedikitpun. Seperti halnya kasus-kasus pemerkosaan, pembunuhan dan exploitasi wanita yang marak terdengar di berbagai media dan stasiun televisi baru-baru ini.
Laki-laki kebanyakan terlalu membesarkan ego daripada akal sehat. Mereka menganggap perempuan hanya sebagai penambal kesenangan belaka. Padahal perempuan adalah bagian terpenting dalam kehidupan keluarga. Bukankah Rasulullah pernah menyatakan, laki-laki yang belum menikah itu agamanya baru setengah. Berarti dalam diri perempuan adalah setengah yang lain, sehingga jika disatukan akan menjadi satu kesatuan yang utuh. Bahkan hingga Rasul sempat menyebutkan bahwa syurga itu berada di telapak kaki ibu.
Sungguh berkat perjuangan dan pengorbanan Rasulullah SAW, akhirnya kita bisa menikmati indahnya kesetaraan. Kesetaraan derajat sebagai makhluk Allah. Karena sesungguhnya yang bisa membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah taqwa. Dan taqwalah yang bisa melebihkan derajat kita dari semua makhluk.
Referensi
Albukhori, Jefri. Ada Apa dengan Wanita. 2006. Jakarta: Almawardi
Djunaidi, Akhmad, dkk. Khodijah Sosok Perempuan Karier Sukses. 2006. Jakarta: MA Press
Pada awal peradaban manusia, laki-laki sengaja memarjinalkan posisi wanita. Karena mereka dianggap sosok manusia yang lemah, tidak memiliki spirit untuk berusaha dan berkembang. Dan hal itu menjadi preseden buruk yang sampai saat ini masih kita rasakan imbasnya. Tidak hanya laki-laki saja yang menganggap demikian, celakanya perempuanpun terdoktrin oleh budaya itu sebagai sebuah dogma yang turun-temurun yang seakan-akan wajib dianut. Orang tua mengajarkan sikap nrimo atas semua perlakuan laki-laki sebagai seorang kepala keluarga.
Jika kita mengingat kembali sejarah abad ke-4 masehi sebelum datangnya Islam. Atau sering disebut zaman Jahiliyah. Perempuan mempunyai kedudukan seakan hamba sahaya, tidak memiliki suatu hak yang yang diakui secara sah. Ia tidak mempunyai hak milik, tidak mempunyai hak untuk melaksanakan suatu usaha. Tidak mempunyai untuk memiliki tempat hidup. Bahkan mereka dianggap sebagai benda yang dimiliki tetapi tidak memiliki. Mereka menjadi warisan, tetapi tidak mewarisi. Dan mereka dapat dipaksa untuk bersuamikan pria yang mereka benci. Bahkan dijadikan sebagai alat untuk perjudian.
Inilah dunia dalam sisi gelap yang selalu memarjinalkan keberadaan perempuan. Padahal mereka adalah manusia, sama seperti laki-laki yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia yang memegang ujung tombak peradaban dunia.
Reformasi Wanita
12 Rabiul Awwal tahun 571 Masehi adalah hari besar bagi seluruh alam. Langit tersenyum, bumi bertasbih, angin terdiam dan pepohonan sujud seraya mengucap syukur. Seorang Rasul telah diutus ke muka bumi sebagai pelita dalam kegelapan, penepis segala penindasan dan mengangkat kembali harkat martabat kaum wanita ke tingkat yang sebenarnya.
Muhammad bin Abdulah dari qabilah Qurays. Dialah sang pelopor gerakan reformasi perempuan pertama di dunia. Bersama Islam diangkatlah kedudukan wanita dan dikembalikan ke tingkat yang layak sebagai makhluk Allah yang diciptakan untuk mendampingi kaum pria dalam misinya sebagai khalifah di muka bumi. Mereka dibebaskan dari penindasan, perlakukan sewenang-wenang dan diberikan hak yang sama dengan laki-laki sebagai partner hidup yang patut dihargai dan dihormati.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya Khodijah Binti Khuailid dalam kehidupan Muhammad SAW sebagai sosok perempuan yang mendukung program reformasi yang menandakan dimulainya gerakan emansipasi wanita. Yaitu kebebasan untuk maju dan berkembang. Dia adalah pembisnis perempuan terkaya pada masa itu. Perniagaannya luas hingga menyerbu pasar-pasar di Syria dan pusat perbelanjaan di Habashah, Yaman. Dia dikenal aktif di muka publik. Sebagai isteri seorang Nabi dia hidup proporsional. Seluruh kekayaannya diinfakkan untuk perjuangan suaminya Muhammad demi tegaknya kalimat tauhid dan pembebasan atas kaum yang tertindas yang akan tumbuh subur dari ujung Timur hingga tempat terbenamnya matahari di ufuk Barat.
Seorang ahli ilmu terkagum-kagum dengan sosok Khadijah, ”Saya cukup terhenyak ketika tersadar bahwa terdapat perbincangan lain yang tak kalah penting yaitu munculnya sosok, figur, dan tokoh perempuan Islam pertama di muka bumi ini yang memeriahkan konstelasi pengetahuan mengenai arti perjuangan seorang perempuan menghadapi kuatnya kultur patriarki”.
Begitu juga Sayyidah Aisyah istri Muhammad SAW yang semasa hidupnya berjuang untuk kepentingan dakwah Islam sesuai tuntutan zaman pada masa itu. Pilar-pilar kemanusiaan tercermin dari sorot matanya. Gema-gema jihad membekas dalam sikap dan kata-kata bijaknya dimata publik. Sementara kasih sayangnya tergambar dalam goresan hadits-hadits suci yang yang autentik hingga saat ini menjadi bahan rujukan untuk menentukan sebuah hukum yang adil dan benar.
Sangat tidak adil jika selama ini Islam menjadi kambing hitam dan pengabsahan bagi pengekangan terhadap perempuan, karena yang menjadi persoalan sampai sejauh ini bukan terletak Islam sebagai agama, tetapi lebih-lebih pada internalisasi paham keislaman bias jender. Sejarah telah mebuktikan bahwa banyak diantara sahabat bahkan isteri-isteri Rasulullah sendiri yang beraktifitas di luar publik. Mereka tidak dilarang, mereka tidak dicegah, bahkan perjuangan-perjuangan mereka telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan Islam di dunia.
Potret sejarah manusia, kita kenal dengan Fatimah Az-Zahra, Ratu Bilqis, Cleo Patra dan Indira Gandhi. Di Indonesia kita kenal dengan Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, dan lainnya. Mereka adalah komunitas perempuan yang mampu membangun sebuah komitmen besar dalam sejarah dunia, yaitu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan menumpas segala bentuk tindak kejahatan. Bahkan dalam sejarah politik moderen, Indonesia pernah memiliki presiden perempuan Megawati Soekarno Putri. Kemunculannya sebagi pemimpin tertinggi negeri kita ini - meskipun mendapat kritik dari para pemuka agama – memberikan angin segar bagi perjuangan pergerakan wanita di Indonesia.
Konsep Islam Menyamakan Kedudukan Pria dan Wanita
Allah SWT berfirman;
”Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagian perempuan (pun) ada bagian yang mereka usahakan.”. (QS. An-Nisa : 32)
Sungguh nyata apa yang Allah firmankan dalam ayat ini. Hak milik laki-laki sama dengan apa yang telah Allah berikan kepada perempuan. Semuanya sudah diatur dan sisamaratakan sesuai kadarnya. Laki-laki mendapatkan hak untuk memiliki sesuatu, maka perempuan juga mempunyai hak untuk memiliki. Jika laki-laki mendapatkan hak atas warisan, maka perempuanpun mendapatkan hak atasnya. Begitu juga dalam jual beli, membuat perjanjian, dan menentukan pilihan hati untuk mencari pendamping hidup. Mereka tidak bisa dipaksakan walaupun oleh orang tuanya sendiri.
Dalam ayat lain Allah berfirman;
”Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan ia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau membenamkan ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”. (QS. An-Nahl: 58-59)
Dalam ayat ini secara tegas Allah memberikan sebuah penilaian ”Ingatlah alangkah bururknya (putusan) yang mereka tetapkan itu”. Secara tidak langsung Allah menegaskan bahwa derajat perempuan itu sama dengan laki-laki. Memiliki hak untuk dihargai dan dihormati. Mempunyai hak untuk hidup bebas tanpa diskriminasi. Dan Islam mewajibkan seluruh pemeluknya baik laki maupun wanita untuk menuntut ilmu setinggi tingginya.
Sayangnya tidak semua laki-laki menyadari konsep ini. Laki-laki kadang-kadang seenaknya mendiskriminasi perempuan tanpa ada belas kasihan sedikitpun. Seperti halnya kasus-kasus pemerkosaan, pembunuhan dan exploitasi wanita yang marak terdengar di berbagai media dan stasiun televisi baru-baru ini.
Laki-laki kebanyakan terlalu membesarkan ego daripada akal sehat. Mereka menganggap perempuan hanya sebagai penambal kesenangan belaka. Padahal perempuan adalah bagian terpenting dalam kehidupan keluarga. Bukankah Rasulullah pernah menyatakan, laki-laki yang belum menikah itu agamanya baru setengah. Berarti dalam diri perempuan adalah setengah yang lain, sehingga jika disatukan akan menjadi satu kesatuan yang utuh. Bahkan hingga Rasul sempat menyebutkan bahwa syurga itu berada di telapak kaki ibu.
Sungguh berkat perjuangan dan pengorbanan Rasulullah SAW, akhirnya kita bisa menikmati indahnya kesetaraan. Kesetaraan derajat sebagai makhluk Allah. Karena sesungguhnya yang bisa membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah taqwa. Dan taqwalah yang bisa melebihkan derajat kita dari semua makhluk.
Referensi
Albukhori, Jefri. Ada Apa dengan Wanita. 2006. Jakarta: Almawardi
Djunaidi, Akhmad, dkk. Khodijah Sosok Perempuan Karier Sukses. 2006. Jakarta: MA Press